Kamis, 15 Mei 2008

Mengapa Mereka Dibiarkan?


Oleh: Tb. Munawar Aziz

Mereka adalah pasukan berjaket almamater, mendesak dengan kemarahan dan bersuara lantang. Mereka menaiki atap dan kubah gedung itu dan duduk diatasnya. Senjata mereka hanya secarik kertas tuntutan, sebentang kain spanduk, dan seperangkat pengeras suara. Mereka terbuat dari akal dan moral, dan dipersatukan oleh satu cita-cita menggusur rezim arogan.

Sepuluh tahun sudah peristiwa pendudukan DPR/MPR itu terjadi, aksi mereka adalah sebuah penanda atas perlawanan hegemoni penguasa. Sebagai sebuah gerakan sosial, pendudukan gedung itu menjadi simbol telah berlakunya ungkapan klasik vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan. Sehingga suatu saat jika negara tidak mampu memberikan ruang hidup yang layak dan sejahtera, maka dengan cara apapun rakyat akan mengambil alih haknya sebagai penguasa tertinggi negara.

Di Indonesia, gelombang reformasi sepuluh tahun lalu untuk meruntuhkan Soeharto, tidak semata karena perubahan politik yang diawali inisiatif oleh penguasa, tetapi lebih disebabkan karena gelombang protes sosial. Setidaknya secara paralel kondisi ini sesuai dengan tulisan Michael Bratton dan Nicolas van de Walle (Democratic Experiments in African Regimes Transitions in Comparative Perspective : 1997) yang meneliti reformasi politik di Afrika. Dalam studinya itu ditemukan bukti-bukti empirik bahwa reformasi politik di sebagian besar negara di kawasan Afrika hampir tidak diawali oleh insiatif negara, melainkan merupakan bentuk respons negara terhadap gelombang protes massa.

Protes sosial yang menjelma dalam aksi pendudukan DPR/MPR memiliki karakteristik khas dilihat dari latar belakang, pola dan strateginya. Terkait dengan pertanyaan besar tentang peristiwa tersebut, bagaimanakah sebuah aksi protes sosial yang bernama pendudukan gedung DPR/MPR bisa terjadi ?

Sebetulnya ada beberapa tawaran untuk menjawab pertanyaan ini. Secara spekulatif banyak yang mengitkannya dengan teori konspirasi. Model ini memperkenalkan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) bersifat rahasia dan sering memperdaya, yang direncanakan secara diam-diam oleh sekelompok orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh. Model ini mencoba memahami peristiwa dari sisi aktor dengan menggunakan epistemologi Johan Galtung di mana elit kekuasan selalu menggunakan kekuatannya untuk menguasai kelompok proletar dengan berbagai cara.

Dalam konteks peristiwa pendudukan gedung DPR/MPR 1998, teori ini memiliki berbagai kelemahan dan tak mampu memberi jawaban komprehensif. Pertama, tidak ada kekuatan yang cukup besar untuk mengontrol berbagai kelompok (gerakan) mahasiswa apalagi menggerakannya dan situasi yang berkembang membuat semua aktor terlibat dalam ketegangan dan mengambil tindakan yang ekstra hati-hati. Fakta ter-diaspora-nya mahasiswa ke dalam berbagai ego kelompok bisa menambah keyakinan betapa sulitnya menciptakan momentum yang menghadirkan ribuan mahasiswa dalam satu waktu dan tempat. Artinya komunikasi dan koordinasi gerakan mahasiswa pada unjuk rasa pendudukan DPR/MPR cukup sulit dilakukan. Sekat ideologis dan kelompok membuat satu sama lain seperti susah untuk berjabat-tangan. Di dalam kampus saja, mereka terbagi-bagi dalam kelompok dan tentu saja dengan stigma masing-masing, apalagi di luar kampus. Satu-satunya momentum yang muncul saat itu adalah pengalihan massa yang tadinya akan berdemonstrasi di Monas di bawah pimpinan Amien Rais pada tanggal 20 Mei 1998 ke gedung DPR/MPR akibat situasi yang tidak mendukung, dan satua-satunya emosi yang mengikat mahasiswa adalah solidaritas atas penembakan mahasiswa Trisakti. Kedua, terjadinya konflik ditubuh elit sehingga tidak ada satu kekuatan elit yang bersifat dominan. Seperti diketahui, soliditas ABRI pada saat itu terbelah, dengan varian ABRI merah putih dan ABRI Hijau, dan rivalitas antara Wiranto versus Probowo. Ditubuh kabinet Soeharto pun terjadi perpecahan. Beberapa menteri menyatakan mundur dari jabatannya dan membentuk sebuah koalisi yang terkenal dengan kelompok Ginanjar Cs. Soeharto dan Habibie pun mengalami kemacetan komunikasi, di penghujung kekuasaanya malah Soeharto jarang melakukan koordinasi dengan Habibie.

Jadi menurut asumsi diatas, terdapat kekeliruan jika ada teori konspirasi yang bisa menggerakan puluhan ribu mahasiswa untuk menduduki gedung DPR/MPR. Karena tidak ada satu kekuatan yang dominan dalam konteks membuat satu rekayasa dan menguasai kelompok massa mahasiswa. Selain itu, gerakan mahasiswa sendiri memiliki kekuatan dan resistensi terhadap militer sehingga mereka tidak mudah dikooptasi. Selain itu, terjadi penyebaran sikap kritis di kalangan kelas menengah (cendikiawan, profesional) yang berkolaborasi dengan para pengusaha.

Berangkat dari kelemahan teori tersebut tulisan ini mencoba memberi sebuah tawaran jawaban berkaitan dengan peristiwa pendudukan tersebut. Melalui teori strukturasi Giddens, setiap aktor yang terlibat dalam peristiwa dipengaruhi oleh struktur makro dan struktur mikro. Struktur makro yang mempengaruhi tindakan aparat untuk membiarkan mahasiswa melakukan pendudukan DPR/MPR antara lain: kondisi pasca trauma penembakan Trisakti dan Pasca kerusuhan 13-14 Mei membuat aparat (baca: negara) bersikap kompromis dan tidak melakukan tindakan anarhis/represif, karena dikhawatirkan terjadi perlawanan hebat dan memicu solidaritas antar mahasiswa dan masyarakat. Bagaimanapun, situasi yang berkembang mengharuskan aparat keamanan bersikap kompromis dan menyesuaikan dengan keadaan, sehingga operasi keamanan yang terjadi saat itu lebih bersifat persuasif

Pada dasarnya, proses pendudukan gedung DPR/MPR secara massif terjadi pada tanggal 19 Mei 1998 hingga 22 Mei 1998. Pembacaan terhadap situasi awal unjuk rasa memperlihatan bahwa pada tanggal 19 Mei, massa mahasiswa dan masyarakat begitu banyak jumlahnya, sehingga mereka tidak bisa diimbangi oleh aparat keamanan yang terbatas. Pada saat itu sempat terjadi bottle neck di beberapa ruas jalan menuju Senayan. Kondisi di depan gerbang pintu utama DPR/MPR mengalami kemacetan luar biasa; jumlah massa yang semakin sesak telah menumpuk dan jika mereka dihadang, tentu saja akan berpotensi chaotic. Aparat saat itu terlihat tidak mau gegabah dalam merespon demonstran, karena situasinya masih dibayangi aroma kemarahan mahasiswa terhadap aparat pasca penembakan mahasiswa Trisakti; di samping, itu, bayangan bara api kerusuhan 13-15 Mei 1998 belum juga hilang dalam ingatan. Situasi paling memungkinkan saat itu adalah membiarkan para demonstran masuk ke dalam gedung DPR/MPR.

Struktur makro yang diperkenalkan Giddens ini sesuai dengan tahap-tahap pra kondisi sebuah gerakan sosial yang diperkenalkan oleh Neil Smelser, yaitu: stuctural conduciveness (situasi negara yang bangkrut, ekonomi yang krisis, penembakan mahasiswa, dan pemimpin yang otoriter), structural strain (ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Soeharto), growth and spread of generalized belief (tuntutan enam visi reformasi yang meluas di kalangan mahasiswa), mobilization of participants for action (demonstrasi besar-besaran di berbagai kota). Artinya, pada saat itu telah tersebar kekuatan-kekuatan yang satu sama lain tidak tersubordinasi tetapi saling berpengaruh.
Pendudukan DPR saat itu secara sederhana adalah bentuk dari sebuah pilihan yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menurunkan Soeharto; di lain pihak, militer tidak mampu menahan laju arus demonstrasi yang begitu banyak, sehingga pilihan yang rasional dari militer adalah membiarkan mahasiswa masuk dan menduduki gedung DPR/MPR.
Kemudian dalam konteks mikro (action) Pendudukan gedung DPR/MPR tanggal 19 Mei 1998 sebagai momentum awal sebuah aksi sesungguhnya tidak direncanakan secara matang. Proses pematangan koordinasi antar jaringan aktivis terjadi setelah aksi massa yang semakin massif dan saat semua mahasiswa berkumpul di dalam gedung DPR/MPR, bukan diluar gedung. Awalnya pendudukan gedung DPR/MPR itu bukan untuk “dikuasai” tetapi hanya untuk “didatangi atau diinapi”. Kondisi saat itu juga menunjukan bahwa gerakan mahasiswa tidak memiliki “cetak biru” bagaimana menggalang dan melakukan koordinasi antar mahasiswa yang begitu heterogen. Adapun kejadian selanjutnya mereka baru membuat sebuah struktur aksi yang mulai rapih dan terorganisir, meski masih bersifat cair. Setelah mereka menginap, akhirnya struktur itu terbentuk tanpa rekayasa pihak manapun. Dalam hal ini, beberapa aktor yang bermain (mahasiswa dan militer) sama-sama memilih suatu tindakan yang rasional untuk menghindari potensi kerugian yang cukup besar.

Dimuat di Harian Radar Banten, Rabu 14 Mei 2008

Tidak ada komentar: