Senin, 26 Mei 2008

Kenaikan BBM, BLT dan Kelaparan



Oleh: Tb. Munawar Aziz

Pencapaian peradaban tertinggi manusia selalu disimbolkan oleh akal, karena ia berada pada tingkatantertinggi dalam dalam hirarkis tubuh maupun kesadaran.
Sedangkan titik terendah peradaban manusia selalu disimbolkan oleh perut yang dikategorikan sebagai nafsu dasar manusia. Begitu juga dalam filosofi pembagian cakra, akal dan perut adalah dua sifat yang melambangkan beradab dan tidak beradabnya karakter manusia.
Jika diibaratkan tingkatan kesadaran dan cakra yang telah disebutkan, bangsa Indonesia saat ini masih berjibaku dan mandeg pada urusan perut, tengok saja, menginjak usia kebangkitan nasional ke seratus tahun dan satu dasawarsa reformasi, masyarakat Indonesia saat ini masih berperang dengan kelaparan. Drama mengenaskan urusan perut ini bisa kita saksikan di Makassar Februari lalu, ketika seorang Daeng Basse (36) yang tengah hamil 7 bulan dan anaknya Fahril (4) tewas mengenaskan karena tak mampu menahan lapar. Sekuel drama kelaparan ini niscaya kembali kita saksikan manakala pemerintah menaikan harga BBM sekitar 28% di akhir bulan Mei ini, dan efek dominonya dipastikan akan menjalar pada keadaan sosial ekonomi masyarakat.
Himpitan ini semakin menjadi-jadi setelah pemerintah memberlakukan kenaikan BBM per 23 Mei 2008 sebesar 28%.Perut masyarakat semakin membusung karena kelaparan menjadi keniscayaan diambang mata, kenaikan BBM praktis memicu kenaikan harga sembako, transportasi, dan sebagainya. Ditengah perayaan kesadaran seabad kebangkitan nasional dan 10 tahun reformasi, rakyat diberi kado istimewa yang membalurkan kepedihan teramat sangat, pekik nasionalisme itu telah berganti rintihan dan jeritan rakyat diseluruh tanah air, saat ini rakyat terhimpit oleh beban ekonomi akibat kenaikan harga BBM. Inilah harga yang harus dibayar oleh rakyat Indonesia .
Dengan dalih meringankan beban rakyat miskin dan mengatasi perut yang keroncongan pemerintah menggulirkan kebijakan instant berupa Bantuan Langsung Tunai. Kebijakan yang pernah digulirkan pemerintah pada 2005 lalu ini sebetulnya sarat dengan kontroversi, antara lain soal efektivitas program ini dalam membantu warga miskin, kengototan pemerintah mempertahankan data warga miskin 2005, hingga besaran BLT yang tak memperhitungkan inflasi. Bahkan beberapa kepala desa dan lurah di Semarang sempat menyatakan penolakan terhadap program ini, karena terdapat perbedaan data keluarga miskin yang menerima bantuan. Pembagian BLT menurut para para lurah dan kepala desa itu rawan kericuhan. Pasalnya, data warga miskin yang digunakan tahun 2005. Jadi, banyak orang yang sudah meninggal dan pindah alamat masih tercatat sebagai penerima BLT. Tapi, warga miskin yang baru jelas tidak akan menerima BLT karena tidak terdata, persoalan ini yang bisa memicu kisruh dilapangan, jelas mereka. (www.liputan6.com/news)
Kritik juga disampaikan oleh Minar Pimple Direktur Kampanye dari Millenium Development Goals (MDGs), sebuah lembaga dunia yang bertugas memantau penanganan kemiskinan di dunia. mengatakan, kebijakan memberikan bantuan tunai langsung kepada rakyat miskin tidak efektif mengurangi angka kemiskinan. Lembaga ini menganggap pemerintah belum maksimal menerapkan strategi penanganan kemiskinan sehingga jumlah rakyat miskin di Indonesia masih mencapai 40 juta jiwa.
Tetapi keputusan sudah diketuk. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Inpres 3/2008 Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Bantuan akan diberikan selama tujuh bulan antara Juni hingga Desember 2008. Setiap Rumah Tangga Miskin (RTM) akan memperoleh Rp 100 ribu/bulan. Seperti 2005 lalu, BLT kali ini digulirkan untuk membantu warga miskin menanggung biaya hidup akibat kenaikan harga BBM kelak..
Pemerintah sepertinya harus banyak mengambil pelajaran dari pelaksanaan BLT selama 2005-2007. Alih-alih mengevaluasi, pemerintah selalu membangun logika bahwa BLT berguna lantaran dana yang dibagikan tersebut akan membantu menangkal merangkaknya harga kebutuhan pokok, ketimbang subsidi BBM mengalir ke kalangan tak tepat sasaran, lebih baik diberikan kepada warga miskin.
Pemerintah seharusnya lebih berhati-hati dengan proses pemutakhiran data penerima BLT, Di sini pemerintah tidak boleh bermain-main dengan “bola panas” yang bisa memantik kekisruhan dalam penyaluran BLT nanti. Pemerintah tak menepis bahwa data warga miskin bertambah, tapi tetap saja data lama yang akan dipakai. Alasannya klise. Menurut Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan, proses pemutakhiran data tengah dilakukan. Alhasil penyaluran BLT akan menggunakan data lama pada 5.300 kecamatan. Jumlah penerima BLT 19,1 juta keluarga. (www.lintasberita.com)
Proses paling rentan yang sedang dihadapi pemerintahan Yudhoyono-Kalla dalam kebijakan BLT ini jelas sekali yaitu persoalan pemutakhiran data.
Tidakkah pemerintah berempati terhadap keluarga miskin yang tak menerima BLT gara-gara namanya tak tercatat di kartu miskin? Dan, bagaimana jika ada warga yang sebenarnya tidak berhak menerima tetapi kemudian menangguk keuntungan? Sekali lagi pemerintah harus bercermin dari kesalahan pada program BLT 2005, jangan sampai menyelesaikan masalah dengan menimbulkan masalah baru dengan menghitung kembali risiko social kebijakan ini.
BLT sesungguhnya sebuah kebijakan yang masih jauh panggang dari api, apalagi jika ditujukan untuk mengurangi dampak kemiskinan akibat kenaikan BBM. Menurut BPS (2005) konsumsi beras warga Indonesia sekitar 7,05 kilogram/bulan/kapita. Jika Rumah Tangga Miskin (RTM) hanya makan sebanyak 1-2 kali sehari, konsumsi berasnya setara 4,7 kilogram/bulan/kapita. Katakanlah beras yang dimakan mereka berkualitas rendah seharga Rp 3.500 per kilogram, dalam sebulan seorang warga miskin harus mengeluarkan Rp 16.450.
Dengan satu istri dan dua anak, RTM paling kurang membelanjakan Rp 65.800 per bulan! Dengan demikian BLT sebesar Rp 100 ribu, hanya cukup memenuhi kebutuhan beras warga miskin selama 20 hari. Sedangkan dana beli beras untuk sepuluh hari sisanya harus ditanggung sendiri oleh RTM bersangkutan. Itu berarti semakin tinggi kualitas beras yang dimakan warga miskin, dana BLT semakin cepat habis.
Itu hanya untuk satu kebutuhan beras. Bagaimana jika ditambah kebutuhan lain? Konsumsi gula setara 1,25 kg/bulan, minyak goreng 4 kg/bulan, minyak tanah 3,4 liter/bulan/kapita atau rumah tangga sebesar 1,3 liter/hari. Berapa kocek yang harus dirogoh si miskin, bahkan seandainya pun konsumsi mereka hanya dua pertiga rerata nasional. Sungguh mencekik leher!
Lapar sesungguhnya masih menjadi persoalan dasar di Indonesia , ditengah pusaran krisis ekonomi global dan krisis pangan, Bangsa Indonesia saat in sangat rentan diterjang gelombang krisis. Contoh baik tentang persoalan lapar ini bisa kita saksikan lewat pergolakan sosial di Haiti , Pemerintah Negara tersebut akhirnya jatuh akibat perlawanan rakyat yang kelaparan.
Setidaknya saat ini ada 36 negara berdasarkan pantauan Badan Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization) yang tengah mengalami “krisis perut” akibat kenaikan harga-harga komoditas pangan. 21 negara di Afrika, 9 negara di kawasan Asia , dan 4 negara di Amerika Latin. Menurut laporan yang dipublikasikan FAO bulan Februari (www.fao.org/worldfoodsituation/), Indonesia termasuk salah satu negara yang mengalami krisis pangan.dan termasuk negara yang membutuhkan bantuan negara luar dalam mengatasi krisis tersebut.
Manakala urusan perut masih menjadi perbincangan dan pemandangan sehari-hari, jangan harap bangsa ini akan bangkit menuju peradaban yang lebih tinggi. Pemerintahan SBY mungkin terlalu utopis ketika menyerukan bahwa bangsa ini bisa maju sejajar dengan negara-negara lain, dilain pihak masyarakat kita masih banyak yang subsisten dan terseok-seok memenuhi kebutuhan perut ditengah harga BBM yang tak terjangkau.

Dimuat di Harian Radar Banten, Selasa, 27-Mei-2008

Minggu, 25 Mei 2008

Jenderal Lapangan Tanpa "Handphone"


Data Buku :
Judul : Pendudukan Gedung DPR/MPR Kesaksian Aktivis Mahasiswa 1998
Tebal : 194 halaman termasuk pengantar
Penyunting: Tb. Munawar Aziz
Penerbit : Teraju (PT.Mizan Publika)

Pendudukan Gedung DPR/MPR selama empat hari pada pertengahan Mei 1998, yang memaksa Presiden Soeharto lengser, bisa "disaksikan" dalam buku berjudul Pendudukan Gedung DPR/MPR Kesaksian Aktivis Mahasiswa 1998 tulisan Heru Cokro (34), mantan Ketua Badan Permusyawaratan Mahasiswa (BPM) Universitas Indonesia.
"Selasa 19 Mei 1998 pagi aku terjaga dari tidur pendekku. Setelah shalat subuh, aku menemui kawan-kawan di Gedung Nusantara I. Kami berbincang mengusir kekosongan sembari terus memantau perkembangan". Tulis Heru dihalaman 103 buku terbitan Teraju (PT. Mizan Publika) ini.
Oleh teman-teman sesama aktivis, Heru, kelahiran Solo, Jawa Tengah, semasa menduduki Gedung DPR/MPR memperoleh julukan Jenderal Lapangan. "Kekacauan juga terjadi ketika mendadak aku menyadari seorang diri mengelola masa sedemikian besar. Entah bagaimana, aku kehilangan kontak dengan teman-teman yang seharusnya diperbantukan buatku (aku tidak punya HP dan rencana melengkapi kami masing-masing dengan walkie talkie tidak pernah terwujud)" tulis Heru.
Menurut dia, keputusan menduduki Gedung DPR/MPR diambil dalam sebuah rapat Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ), 15-16 Mei di kampus IKIP Jakarta. "saat itu rapat memutuskan rencana final untuk aksi mendatangi Gedung DPR/MPR pada 18 Mei 1998 pagi". Seperti diketahui mahasiswa meninggalkan Senayan pada 22 Mei 1998 dini hari atau setelah Soeharto menyatakan lengser siang sebelumnya.
Meski dicetak sangat sederhana, buku yang ber-ISBN: 978-979-3603-90-2 ini bisa melengkapi rak perpustakaan meski ada ganjalan sedikit di halaman 67.
Disitu tertulis : Tanggal 8 Mei 1998, Moses Gatotkaca tewas pada unjuk rasa di UGM. Padahal waktu itu, ia tidak dalam barisan pendemo dan dia datang bukan untuk aksi.
Mozes (bukan Moses) tewas di sebelah selatan Kampus Universitas Sanata Dharma (USD) di kawasan Demangan, Sleman. Jarak dari kampus GM sekitar 1 Km. Jadi, penyebutan Kampus UGM dirasa kurang pas. Kalau disebut dekat kampus IKIP Karangmalang, mungkin lebih tepat. Apalagi menyebut di sebelah selatan kampus USD. MOzes kini diabadikan untuk penamaan jalan setempat.
Heru Cokro telah menyelesaikan kuliah dan menyandang gelar S1/S2 psikologi. Sekarang dia menjadi pengusaha dan konsultan sekaligus tercatat selaku anggota Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) dan aktif sebagai Direktur SDMLink, komunitas profesi Sumber Daya Manusia di Indonesia. Bekas aktivis mahasiswa itu juga disibukan mengikuti program doktoral di Jurusan Sosiologi FISIP UI.

(Di muat di Surat Kabar Harian Kompas, Senin 26 Mei 2008, halaman 37)

Kamis, 15 Mei 2008

Mengapa Mereka Dibiarkan?


Oleh: Tb. Munawar Aziz

Mereka adalah pasukan berjaket almamater, mendesak dengan kemarahan dan bersuara lantang. Mereka menaiki atap dan kubah gedung itu dan duduk diatasnya. Senjata mereka hanya secarik kertas tuntutan, sebentang kain spanduk, dan seperangkat pengeras suara. Mereka terbuat dari akal dan moral, dan dipersatukan oleh satu cita-cita menggusur rezim arogan.

Sepuluh tahun sudah peristiwa pendudukan DPR/MPR itu terjadi, aksi mereka adalah sebuah penanda atas perlawanan hegemoni penguasa. Sebagai sebuah gerakan sosial, pendudukan gedung itu menjadi simbol telah berlakunya ungkapan klasik vox populi vox dei, suara rakyat adalah suara tuhan. Sehingga suatu saat jika negara tidak mampu memberikan ruang hidup yang layak dan sejahtera, maka dengan cara apapun rakyat akan mengambil alih haknya sebagai penguasa tertinggi negara.

Di Indonesia, gelombang reformasi sepuluh tahun lalu untuk meruntuhkan Soeharto, tidak semata karena perubahan politik yang diawali inisiatif oleh penguasa, tetapi lebih disebabkan karena gelombang protes sosial. Setidaknya secara paralel kondisi ini sesuai dengan tulisan Michael Bratton dan Nicolas van de Walle (Democratic Experiments in African Regimes Transitions in Comparative Perspective : 1997) yang meneliti reformasi politik di Afrika. Dalam studinya itu ditemukan bukti-bukti empirik bahwa reformasi politik di sebagian besar negara di kawasan Afrika hampir tidak diawali oleh insiatif negara, melainkan merupakan bentuk respons negara terhadap gelombang protes massa.

Protes sosial yang menjelma dalam aksi pendudukan DPR/MPR memiliki karakteristik khas dilihat dari latar belakang, pola dan strateginya. Terkait dengan pertanyaan besar tentang peristiwa tersebut, bagaimanakah sebuah aksi protes sosial yang bernama pendudukan gedung DPR/MPR bisa terjadi ?

Sebetulnya ada beberapa tawaran untuk menjawab pertanyaan ini. Secara spekulatif banyak yang mengitkannya dengan teori konspirasi. Model ini memperkenalkan bahwa penyebab tertinggi dari satu atau serangkaian peristiwa (pada umumnya peristiwa politik, sosial, atau sejarah) bersifat rahasia dan sering memperdaya, yang direncanakan secara diam-diam oleh sekelompok orang atau organisasi yang sangat berkuasa atau berpengaruh. Model ini mencoba memahami peristiwa dari sisi aktor dengan menggunakan epistemologi Johan Galtung di mana elit kekuasan selalu menggunakan kekuatannya untuk menguasai kelompok proletar dengan berbagai cara.

Dalam konteks peristiwa pendudukan gedung DPR/MPR 1998, teori ini memiliki berbagai kelemahan dan tak mampu memberi jawaban komprehensif. Pertama, tidak ada kekuatan yang cukup besar untuk mengontrol berbagai kelompok (gerakan) mahasiswa apalagi menggerakannya dan situasi yang berkembang membuat semua aktor terlibat dalam ketegangan dan mengambil tindakan yang ekstra hati-hati. Fakta ter-diaspora-nya mahasiswa ke dalam berbagai ego kelompok bisa menambah keyakinan betapa sulitnya menciptakan momentum yang menghadirkan ribuan mahasiswa dalam satu waktu dan tempat. Artinya komunikasi dan koordinasi gerakan mahasiswa pada unjuk rasa pendudukan DPR/MPR cukup sulit dilakukan. Sekat ideologis dan kelompok membuat satu sama lain seperti susah untuk berjabat-tangan. Di dalam kampus saja, mereka terbagi-bagi dalam kelompok dan tentu saja dengan stigma masing-masing, apalagi di luar kampus. Satu-satunya momentum yang muncul saat itu adalah pengalihan massa yang tadinya akan berdemonstrasi di Monas di bawah pimpinan Amien Rais pada tanggal 20 Mei 1998 ke gedung DPR/MPR akibat situasi yang tidak mendukung, dan satua-satunya emosi yang mengikat mahasiswa adalah solidaritas atas penembakan mahasiswa Trisakti. Kedua, terjadinya konflik ditubuh elit sehingga tidak ada satu kekuatan elit yang bersifat dominan. Seperti diketahui, soliditas ABRI pada saat itu terbelah, dengan varian ABRI merah putih dan ABRI Hijau, dan rivalitas antara Wiranto versus Probowo. Ditubuh kabinet Soeharto pun terjadi perpecahan. Beberapa menteri menyatakan mundur dari jabatannya dan membentuk sebuah koalisi yang terkenal dengan kelompok Ginanjar Cs. Soeharto dan Habibie pun mengalami kemacetan komunikasi, di penghujung kekuasaanya malah Soeharto jarang melakukan koordinasi dengan Habibie.

Jadi menurut asumsi diatas, terdapat kekeliruan jika ada teori konspirasi yang bisa menggerakan puluhan ribu mahasiswa untuk menduduki gedung DPR/MPR. Karena tidak ada satu kekuatan yang dominan dalam konteks membuat satu rekayasa dan menguasai kelompok massa mahasiswa. Selain itu, gerakan mahasiswa sendiri memiliki kekuatan dan resistensi terhadap militer sehingga mereka tidak mudah dikooptasi. Selain itu, terjadi penyebaran sikap kritis di kalangan kelas menengah (cendikiawan, profesional) yang berkolaborasi dengan para pengusaha.

Berangkat dari kelemahan teori tersebut tulisan ini mencoba memberi sebuah tawaran jawaban berkaitan dengan peristiwa pendudukan tersebut. Melalui teori strukturasi Giddens, setiap aktor yang terlibat dalam peristiwa dipengaruhi oleh struktur makro dan struktur mikro. Struktur makro yang mempengaruhi tindakan aparat untuk membiarkan mahasiswa melakukan pendudukan DPR/MPR antara lain: kondisi pasca trauma penembakan Trisakti dan Pasca kerusuhan 13-14 Mei membuat aparat (baca: negara) bersikap kompromis dan tidak melakukan tindakan anarhis/represif, karena dikhawatirkan terjadi perlawanan hebat dan memicu solidaritas antar mahasiswa dan masyarakat. Bagaimanapun, situasi yang berkembang mengharuskan aparat keamanan bersikap kompromis dan menyesuaikan dengan keadaan, sehingga operasi keamanan yang terjadi saat itu lebih bersifat persuasif

Pada dasarnya, proses pendudukan gedung DPR/MPR secara massif terjadi pada tanggal 19 Mei 1998 hingga 22 Mei 1998. Pembacaan terhadap situasi awal unjuk rasa memperlihatan bahwa pada tanggal 19 Mei, massa mahasiswa dan masyarakat begitu banyak jumlahnya, sehingga mereka tidak bisa diimbangi oleh aparat keamanan yang terbatas. Pada saat itu sempat terjadi bottle neck di beberapa ruas jalan menuju Senayan. Kondisi di depan gerbang pintu utama DPR/MPR mengalami kemacetan luar biasa; jumlah massa yang semakin sesak telah menumpuk dan jika mereka dihadang, tentu saja akan berpotensi chaotic. Aparat saat itu terlihat tidak mau gegabah dalam merespon demonstran, karena situasinya masih dibayangi aroma kemarahan mahasiswa terhadap aparat pasca penembakan mahasiswa Trisakti; di samping, itu, bayangan bara api kerusuhan 13-15 Mei 1998 belum juga hilang dalam ingatan. Situasi paling memungkinkan saat itu adalah membiarkan para demonstran masuk ke dalam gedung DPR/MPR.

Struktur makro yang diperkenalkan Giddens ini sesuai dengan tahap-tahap pra kondisi sebuah gerakan sosial yang diperkenalkan oleh Neil Smelser, yaitu: stuctural conduciveness (situasi negara yang bangkrut, ekonomi yang krisis, penembakan mahasiswa, dan pemimpin yang otoriter), structural strain (ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Soeharto), growth and spread of generalized belief (tuntutan enam visi reformasi yang meluas di kalangan mahasiswa), mobilization of participants for action (demonstrasi besar-besaran di berbagai kota). Artinya, pada saat itu telah tersebar kekuatan-kekuatan yang satu sama lain tidak tersubordinasi tetapi saling berpengaruh.
Pendudukan DPR saat itu secara sederhana adalah bentuk dari sebuah pilihan yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menurunkan Soeharto; di lain pihak, militer tidak mampu menahan laju arus demonstrasi yang begitu banyak, sehingga pilihan yang rasional dari militer adalah membiarkan mahasiswa masuk dan menduduki gedung DPR/MPR.
Kemudian dalam konteks mikro (action) Pendudukan gedung DPR/MPR tanggal 19 Mei 1998 sebagai momentum awal sebuah aksi sesungguhnya tidak direncanakan secara matang. Proses pematangan koordinasi antar jaringan aktivis terjadi setelah aksi massa yang semakin massif dan saat semua mahasiswa berkumpul di dalam gedung DPR/MPR, bukan diluar gedung. Awalnya pendudukan gedung DPR/MPR itu bukan untuk “dikuasai” tetapi hanya untuk “didatangi atau diinapi”. Kondisi saat itu juga menunjukan bahwa gerakan mahasiswa tidak memiliki “cetak biru” bagaimana menggalang dan melakukan koordinasi antar mahasiswa yang begitu heterogen. Adapun kejadian selanjutnya mereka baru membuat sebuah struktur aksi yang mulai rapih dan terorganisir, meski masih bersifat cair. Setelah mereka menginap, akhirnya struktur itu terbentuk tanpa rekayasa pihak manapun. Dalam hal ini, beberapa aktor yang bermain (mahasiswa dan militer) sama-sama memilih suatu tindakan yang rasional untuk menghindari potensi kerugian yang cukup besar.

Dimuat di Harian Radar Banten, Rabu 14 Mei 2008